PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) mengonfirmasi bahwa mereka harus mengimpor bijih nikel dari negara lain, terutama dari Filipina, hingga 51.000 ton. Hal ini disebabkan oleh banyak perusahaan tambang dalam negeri yang tidak dapat menjual bijih nikel karena belum mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Muhammad Ardhi Soemargo, Direktur Utama PT Nityasa Prima sebagai konsorsium PT KFI, menjelaskan bahwa keputusan untuk melakukan impor dilakukan untuk memastikan agar smelter perusahaan yang terletak di Desa Pendingin, Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur tetap dapat beroperasi. Ketika bapak menjelaskan mengapa kami harus mengimpor dari Filipina karena beberapa tambang belum memiliki RKAB, maka kami tidak dapat membeli," ujar beliau dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI, yang dikutip pada Selasa (9/7/2024). Sementara itu, perusahaan membutuhkan pasokan bijih nikel untuk diolah di proyek smelternya. Selain itu, ada 1.400 tenaga kerja yang bergantung pada smelter tersebut. Jumlah impor bijih nikel dari Filipina mencapai 51 ribu ton. "Ketika saya menyampaikan kepada pimpinan mengenai kedatangan nikel dari Filipina, dijelaskan bahwa kami baru menerima 1 kapal sekitar 51 ribu ton dan kami hanya ingin membantu menambahkan pasokan nikel yang saat ini kurang," tambahnya. Sebelumnya, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus juga mengungkapkan tentang perusahaan smelter yang mengimpor bijih nikel dari Filipina. Alex mengakui bahwa Indonesia saat ini memiliki sumber daya dan cadangan nikel terbesar di dunia. Total sumber daya bijih nikel mencapai 17 miliar ton dengan total cadangan bijih nikel mencapai 5 miliar ton. Namun, menurutnya stok bijih nikel dengan kadar 1,7% untuk keperluan smelter sudah semakin menipis. Sementara itu, keberlangsungan operasional sejumlah smelter nikel di dalam negeri juga harus dipastikan. Menurut Alex, kebijakan perusahaan untuk melakukan impor bijih nikel dari luar negeri didasari oleh pertimbangan spesifikasi khusus. Hal ini dikarenakan suplai bijih nikel kadar tinggi di dalam negeri terus berkurang. "Kita harus menyadari bahwa suplai bijih nikel kadar tinggi semakin menipis, terutama dengan semakin banyaknya smelter yang beroperasi. Smelter kita, terutama untuk produk NPI, membutuhkan lebih dari 200 juta metrik ton nikel high grade per tahun," tambahnya.